
Jakarta, 1 Juli 2025 – Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan Indonesia, selama bertahun-tahun menjadi lahan subur bagi pengembangan properti vertikal. Namun, data terbaru dari Real Estate Indonesia (REI) dan Colliers International mengungkap realitas mencengangkan: lebih dari 45.000 unit apartemen di Jakarta saat ini berstatus tidak terjual.
Fenomena ini bukan hanya angka statistik. Ia mencerminkan ketidaksesuaian antara suplai dan permintaan, serta pergeseran perilaku masyarakat urban terhadap kepemilikan dan tempat tinggal.
📊 Data dan Fakta: Inventaris Menggunung
-
Total unit apartemen di Jakarta (hingga Q1 2025): ±293.000 unit
-
Unit tak terjual (unsold inventory): ±45.000 unit (15%)
-
Area dengan stok kosong tertinggi: Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan
-
Tipe terbanyak yang tak terserap: 1-bedroom dan studio mid-high end
Menurut laporan Colliers, sebagian besar unit yang tidak laku berada di segmen menengah ke atas, dengan harga per meter persegi mencapai Rp 30–50 juta, namun minim fasilitas komunitas dan akses transportasi.
🧩 Apa Penyebab Apartemen Sulit Laku?
1. Ketimpangan Harga dan Daya Beli
Konsumen menengah ke bawah masih kesulitan membeli apartemen karena keterbatasan penghasilan. Sementara itu, segmen menengah atas lebih memilih rumah tapak di pinggiran yang dianggap lebih bernilai jangka panjang.
“Harga terlalu tinggi untuk end user, tapi terlalu kecil yield-nya untuk investor,” kata Ferry Salanto, Senior Associate Director Colliers Indonesia.
2. Perubahan Preferensi Pasca-Pandemi
Pandemi COVID-19 mengubah cara pandang banyak orang terhadap ruang tinggal. Warga perkotaan kini cenderung mencari rumah dengan ruang terbuka, halaman, dan akses udara segar—sesuatu yang sulit ditawarkan apartemen berukuran kecil.
3. Kekurangan Infrastruktur dan Fasilitas Pendukung
Banyak apartemen dibangun di lokasi dengan akses jalan sempit, jauh dari halte atau stasiun, dan minim area hijau. Penghuni potensial menilai ini tidak sebanding dengan harga yang ditawarkan.
4. Investasi Asing dan Developer Overbuild
Dalam dekade terakhir, banyak developer membangun unit dalam jumlah besar berdasarkan proyeksi permintaan investor asing atau lokal kelas atas. Namun, pasar riil end user justru tidak tumbuh secepat itu.
🏢 Stagnasi Sektor Sewa dan Properti Investasi
Selain penjualan, sektor sewa apartemen juga stagnan, dengan banyak unit kosong selama lebih dari 6 bulan. Hal ini menurunkan nilai investasi dan membuat calon pembeli enggan membeli untuk disewakan kembali.
Bahkan, return sewa tahunan rata-rata di Jakarta hanya berkisar 3–5%, jauh di bawah potensi keuntungan dari instrumen investasi lain seperti saham atau obligasi.
📉 Dampaknya Terhadap Sektor Properti dan Ekonomi
Stok apartemen yang menganggur menyebabkan:
-
Likuiditas developer terganggu
-
Harga jual tidak bisa naik secara sehat
-
Kredit konstruksi mengendap di bank
-
Pasar sekunder apartemen lesu
Kondisi ini berisiko mengarah ke oversupply struktural, terutama jika tidak disertai inovasi produk atau penyesuaian terhadap tren konsumen.
🛠️ Solusi dan Rekomendasi
-
Inovasi Produk Hunian: Unit apartemen perlu didesain ulang agar lebih fungsional dan cocok untuk kerja hybrid.
-
Penyesuaian Harga dan Skema Pembiayaan: Developer bisa mempertimbangkan skema bayar ringan jangka panjang, sewa-beli, atau opsi co-living.
-
Revitalisasi Lokasi dan Akses: Proyek apartemen harus terkoneksi dengan transportasi umum (TOD), ruang terbuka, dan pusat aktivitas warga.
-
Konversi Fungsi: Beberapa proyek bisa dialihkan menjadi serviced residence, coworking-living space, atau akomodasi mahasiswa.
✅ Kesimpulan
Fenomena 45.000 unit apartemen tak laku di Jakarta adalah peringatan bagi para pelaku industri properti bahwa strategi lama tidak lagi relevan. Di tengah perubahan perilaku konsumen, urbanisasi digital, dan tekanan ekonomi, inovasi dan keberanian menyesuaikan pasar adalah kunci bertahan.
Jika tidak, apartemen hanya akan menjadi “kota kosong di langit”—megah secara fisik, tapi hampa fungsi sosial.